"Kapan Kabar Baik Jadi Berita Bagus?"



Oleh : Wicaksono

Saya ingat benar malam itu, dua dekade yang lalu, saat kami menyusun halaman muka koran. Di ruang redaksi yang pengap oleh asap rokok dan ketegangan deadline, kami duduk berhadapan, saling bertukar naskah seperti dokter bedah yang memperdebatkan cara menyelamatkan nyawa. Kalimat demi kalimat dibedah, judul diuji, dan foto dipilih dengan cermat. 

Ads


Ada satu pertanyaan yang senantiasa kami bisikkan dalam hati sebelum naskah dikirim ke percetakan, “Berita ini bikin pembaca tahu lebih banyak... atau lebih takut?”


Waktu berlalu. Zaman berubah. Saya pensiun. Redaksi pun sunyi dari suara mesin tik dan tebalnya bundel berita cetak. Tapi yang lebih mengusik saya bukanlah teknologi, melainkan suasana batin di balik berita. Ada yang hilang. Ada yang membeku. 


Di masa pensiun saya, ketika rutinitas berganti dari peliputan ke menyiram tanaman dan menyeduh kopi, saya justru lebih tajam melihat lanskap media hari ini. Saya merasa terlalu banyak berita buruk, terlalu sedikit berita baik, terlalu sedikit ruang untuk harapan. 


Setiap kali membaca judul-judul yang menggelegar, thumbnail yang mengintimidasi, dan deskripsi yang menakutkan, saya merasa seolah dunia akan kiamat dalam dua hari ke depan. Bahkan saat saya membuka portal berita pagi, rasanya seperti dihujani reruntuhan setiap harinya: korupsi, kekerasan, bencana, perang, atau skandal.


Seperti kata seorang teman, media telah terlalu lama terjebak dalam bias negatif—negativity bias—dan lupa memberi ruang bagi hal-hal yang menyembuhkan. Bagi kami, kabar buruk adalah berita baik.


Saya merenungkan kata-kata itu dengan hati yang getir. Ada kebenaran yang tak terbantahkan di sana: otak manusia memang lebih reaktif terhadap ancaman, lebih cepat terpikat pada tragedi ketimbang solusi. Itu naluri bertahan hidup. Tapi ketika media—penjaga gerbang informasi—mulai menyerah pada naluri purba ini, maka kita bukan sedang mencerdaskan publik, melainkan membekukan imajinasi mereka.


Saya mengerti: redaksi kini berjuang di tengah tekanan algoritma. Mesin pencari dan platform media sosial menciptakan ekosistem di mana atensi menjadi komoditas paling mahal. Semakin gaduh, semakin laris. Tapi saya tetap percaya, jurnalisme bukan sekadar bisnis atensi. Bukan serikat dagang penarik perhatian. Ia adalah profesi dengan jiwa.


Ada satu kisah yang tak pernah saya lupakan. Bertahun-tahun lalu, teman saya mewawancarai seorang ibu di pedalaman Nusa Tenggara Timur. Ia buta huruf, tinggal di rumah beratap daun lontar, dan bekerja sebagai buruh tani. Tapi tiap malam ia belajar membaca huruf demi huruf dari cucunya yang duduk di kelas dua SD. Ia ingin suatu hari bisa membaca sendiri doa-doa di kitab suci. 


Tak ada yang heboh dari cerita itu. Tak ada konflik. Tapi setelah beritanya dimuat, surat kabar kami menerima ratusan surat pembaca. Mereka menangis. Mereka terinspirasi. Mereka tergerak.


Itu yang saya maksud dengan jurnalisme yang menyala: bukan jurnalisme sensasional, tapi yang menyentuh sisi manusia kita yang terdalam.


Ketika buku-buku teks menyebutkan bahwa media berperan besar dalam membentuk persepsi dunia, saya merenungkannya kembali cukup lama. “Kalau yang kita lihat setiap hari hanyalah kehancuran dan kebencian, bagaimana kita bisa percaya bahwa dunia bisa diperbaiki?” 


Pertanyaan itu menohok ulu hati.


Teman-teman awak media, kita lupa bahwa berita bukan hanya soal kejadian. Ia adalah cerita tentang bagaimana manusia—dalam segala keterbatasannya—terus mencoba memahami, merespons, dan mengatasi tantangan. Ketika kita hanya menyajikan potret kegelapan tanpa menyalakan satu lilin pun di sudut cerita, kita ikut memadamkan harapan publik. Kita ikut menyebarkan keputusasaan.


Saya tidak sedang mengajak media menjadi corong propaganda atau menutup-nutupi masalah. Jurnalisme konstruktif bukan berarti jurnalisme yang manis dan basa-basi. Justru sebaliknya. Jurnalisme macam itu menghadapi krisis dengan jernih, lalu menunjukkan bahwa krisis itu bisa dihadapi. Ia memberitahu siapa yang mencoba memadamkan api saat rumah terbakar, bukan sekadar membingkai api dengan slow motion.


Kini saya melihat banyak wartawan muda yang cerdas, cepat, dan penuh semangat. Tapi saya khawatir, mereka kelelahan secara emosional. Bukan karena beban kerja semata, tapi karena paparan berita buruk yang terus-menerus, dari naskah yang mereka tulis sendiri. News fatigue tak hanya terjadi di sisi pembaca, tapi juga di tubuh redaksi.


Dalam kondisi seperti ini, saya kira sudah saatnya redaksi melatih cara berpikir yang lambat, reflektif, dan empatik. Redaksi bukan pabrik konten. Ia adalah tempat menyuling makna dari kekacauan dunia. Dan itu butuh waktu. Butuh kesabaran. Butuh hati.


Saya membayangkan seandainya redaksi mulai rutin mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini saat menyusun liputan: Apakah berita ini memberi ruang untuk harapan? Apakah ia memotret proses, bukan hanya hasil? Apakah ia memperluas imajinasi tentang kemungkinan solusi? Maka, itu bukan untuk menambah beban di benak pembaca, melainkan memberi arah.


Alangkah lebih baik bila redaksi menjadi tempat bagi semua sisi cerita: yang buruk dan yang baik, yang gagal dan yang belajar, yang jatuh dan yang bangkit. Karena hidup tidak hitam putih. Dan tugas wartawan adalah menuliskan kehidupan dalam seluruh gradasinya.


Saya tahu saya bukan siapa-siapa lagi dalam hiruk-pikuk media hari ini. Tapi jika boleh menitipkan satu harapan dari beranda rumah tempat saya menulis catatan ini, maka harapan saya sederhana: semoga para wartawan muda berani menulis bukan untuk algoritma, tapi untuk nurani. Untuk masyarakat yang ingin tahu, tapi juga ingin sembuh. Untuk anak-anak kita yang kelak akan membaca dunia, dan semoga yang mereka temukan bukan hanya luka, tapi juga cahaya.


Berita buruk memang nyata. Tapi kabar baik juga penting. Dunia tidak kekurangan tragedi, tapi bisa kehabisan imajinasi. Seandainya hal itu terjadi, media bukan lagi jadi pembawa kabar. Media hanya menjadi saksi bisu dari apatisme massal yang mereka ciptakan sendiri. (*)

Posting Komentar

1 Komentar