Menuju Peraturan yang Berbasis Keterbukaan serta Keterlibatan



Multikulturalisme serta wilayah negara yang begitu luas membuat Indonesia memilih sistem demokrasi perwakilan sebagai sarana manifestasi kedaulatan dari rakyat yang tertuang dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dimana masyarakat memilih salah satu perwakilan sebagai representasi dari identitas serta kepentingan mereka (masyarakat) di lembaga pemerintahan. Sistem ini dianggap mampu mewakili kepentingan seluruh lapisan masyarakat sehingga tak ayal banyak negara modern saat ini menggunakan sistem demokrasi perwakilan ini di wilayah negara mereka. 


Dalam perjalanannya, sebuah sistem pasti memiliki tantangan serta kekurangan biasanya hal ini terlihat dari fenomena yang dimunculkan pada tahap implementasinya. Di Indonesia fenomena pengkultusan diri oleh anggota DPR yang menganggap dirinya sebagai entitas perwakilan yang seolah telah khatam mengenai keinginan dan perkembangan masyarakat membuat partisipasi publik dalam perumusan kebijakan sedikit terhambat. Sehingga terkadang pada tataran perumusan Undang Undang dan atau kebijakan politik lainnya partisipasi publik menjadi minim, pada titik inilah problem demokrasi perwakilan dalam tahap legislasi (perumusan) muncul pada beberapa kesempatan.


Revisi UU KPK, Revisi UU TNI, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja memberikan validasi bahwa partisipasi publik dalam perumusan kebijakan merupakan persoalan yang genting di Indonesia. Mencuatnya frasa penguatan partisipasi publik pada tema besar berbagai forum hukum nasional yang diadakan oleh beragam institusi semakin menguatkan bahwa memang partisipasi publik merupakan persoalan pelik yang harus dicarikan jalan keluarnya segera. 


Partisipasi publik sangat dibutuhkan agar kebijakan (RUU) yang dirumuskan bersifat responsif sesuai dengan keinginan dan perkembangan yang berada di masyarakat, sehingga masyarakat bisa menjalani sebuah kebijakan atau aturan tersebut secara sadar tanpa ada paksaan. Selain itu partisipasi publik merupakan elemen kunci untuk pemenuhan asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik khususnya mengenai kedayagunaan, dapat dilaksanakan, dan asas keseimbangan keserasian, dan keselarasan yang termaktub dalam Pasal 5 huruf d dan e serta Pasal 6 huruf j Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 


Partisipasi Publik sering dimaknai sebagai proses yang melibatkan masyarakat dalam proses legislasi maupun perumusan kebijakan lainnya. Konsep ini diperkenalkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tepatnya pada Pasal 96 yang kemudian diperkuat ketentuannya dengan menambah sejumlah ayat pada Pasal tersebut lewat Undang-Undang No. 13 Tahun 2022. Konsep tersebut juga ditegaskan kembali lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memberikan ketentuan bahwa partisipasi masyarakat harus berlandaskan kepada (3) hal yakni: hak untuk pendapatnya didengarkan, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, serta hak untuk mendapatkan alasan atas pendapat yang masyarakat berikan. 


Teknis pelaksanaan dari konsep partisipasi publik diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, jika kita menilik Pasal 128 peraturan tersebut disana dijelaskan bahwa “Dalam penyusunan rancangan undang-undang, Anggota dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang.” Adanya diksi “dapat” yang tertera dalam rumusan pasal tersebut mengindikasikan bahwa partisipasi publik dalam proses legislasi di Indonesia belum merupakan hal yang esensial melainkan masih bersifat formalitas dalam bentuk pilihan (inisiatif). Diksi “dapat” juga ditemukan dalam Pasal 240 ayat (1) dengan bunyi “Hasil kunjungan kerja dapat disampaikan sebagai usulan” sehingga menimbulkan indikasi bahwa aspirasi masyarakat daerah berpotensi hanya mengendap saja tanpa ada pembahasan lebih lanjut, pada titik inilah sinisme masyarakat meningkat terhadap anggota DPR.


Lebih lanjut pada ketentuan Pasal 245 peraturan tersebut menyatakan bahwa “Dalam hal masukan disampaikan secara lisan, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, menentukan waktu pertemuan dan jumlah orang yang diundang dalam pertemuan.” Pasal ini membuat akses masyarakat untuk menyampaikan pandangan menjadi sedikit terbatas karena adanya kriteria penentuan yang dilakukan oleh Anggota DPR. 


Partisipasi publik harus dikembalikan ke derajat yang seharusnya, yakni sebagai hal yang esensial dalam proses legislasi di negara yang demokratis bukan sebagai formalitas dalam bentuk berupa pilihan. Adapun solusi untuk menguatkan partisipasi publik bisa dilakukan melalui revisi Peraturan Tata Tertib DPR khususnya Pasal 128 dengan mengubah diksi “dapat” menjadi diksi “harus” sehingga partisipasi publik berubah menjadi hal yang esensial pada tahapan legislasi di DPR, selain itu DPR harus merevisi mekanisme penyampaian masukan secara lisan menjadi mekanisme yang bersifat inklusif dengan cara mengumumkan lewat laman resmi DPR bahwa akan diselenggarakan public hearing mengenai suatu Rancangan Undang Undang (RUU) dengan menyediakan sebuah link pendaftaran bagi masyarakat yang merasa terdampak atas suatu RUU tersebut serta batasan orang yang akan diundang harus dimuat beserta alasannya agar bersifat transparan dalam pelaksanaannya, atau bisa dengan mekanisme lain sesuai kebijaksanaan anggota DPR. 


Ketika menerima masukan dari masyarakat terdampak, DPR wajib mempertimbangkan dan memuat alasan apakah masukan tersebut diterima atau tidak, hal lain yang tak kalah penting adalah merevisi pasal 240 ayat (1) Tatib DPR mengenai kunjungan kerja dengan merubah frasa “dapat disampaikan” menjadi “harus atau wajib disampaikan” sehingga kriteria partisipasi publik yang dimuat dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terlaksana secara sempurna sehingga masyarakat merasakan bahwa mereka memang dilibatkan dalam hal legislasi.


//Gilang Alfarizi

إرسال تعليق

0 تعليقات